Dunia pendidikan nasional, akhir-akhir ini, tercoreng oleh tindakan beberapa orang yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, belakangan ini kita dikejutkan oleh kasus-kasus seperti pemukulan guru di Makassar, pembunuhan guru di Bima, dan yang paling hangat adalah terbunuhnya guru kesenian di Sampang, Madura. Boleh jadi, kasus-kasus itu bukanlah yang terakhir. Di luar sana, besar kemungkinan, masih banyak kejadian serupa yang menimpa pendidik dan tidak terungkap oleh media massa. Apalagi dengan keluarnya aturan Undang-Undang Perlindungan Anak, namun di sisi lain tidak disertai dengan dirilisnya “undang-undang perlindungan guru”. Tentu, ini akan sangat membatasi gerak guru dalam mendidik siswa di lingkungan sekolah. Mereka takut, bila dalam melakukan pendidikan malah berujung penjara. Salah satu contohnya adalah kasus pencubitan terhadap siswa yang dilakukan oleh guru yang langsung dilaporkan oleh orang tua siswa ke ranah hukum. Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk menyikapi hal itu?
Menurut pendapat para ahli, tingkat budaya literasi berbanding lurus dengan kualitas suatu bangsa. Kebiasaan membaca yang tinggi akan memengaruhi wawasan, mental, dan perilaku seseorang. Oleh karena itu, gerakan literasi menjadi salah satu solusi peningkatan mutu sumber daya manusia dan dapat menghindarkan adanya kekerasan di lingkungan pendidikan. Pada tingkat sekolah, gerakan literasi dapat dilakukan melalui pelaksanaan pembelajaran berbasis literasi. Hal ini bertujuan mengembangkan kemampuan memahami teks dan terkait dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis, serta mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif. Sebagaimana menurut Dirjen Dikdasmen, (2016:29-30) pada tataran sekolah dasar, peserta didik diminta membaca dan menanggapi buku nonteks pelajaran minimal 6 buku, tataran SMP minimal 12 buku, dan tataran SMA/SMK minimal 18 buku. Jadi, kuncinya banyaklah membaca.